Es di Antarktika Capai Level Terendah, Ini Dampaknya bagi Bumi
20 September 2023 14:17 WIB Pemanasan Global Lingkungan NewsSide.id - Berdasarkan data satelit, jumlah es di lautan yang mengelilingi Antarktika kini berada di level terendah yang pernah tercatat. Hal tersebut pun menjadi pertanda baru yang cukup mengkhawatirkan bagi wilayah yang sebelumnya dapat bertahan dari pemanasan global.
Para ahli mengatakan, bahwa Antarktika yang tidak stabil dapat menimbulkan konsekuensi yang luas. Kemudian, hamparan es Antarktika yang besar memiliki fungsi untuk mengatur suhu planet Bumi, di mana permukaan berwarna putih dapat memantulkan energi Matahari kembali ke atmosfer. Lalu, dapat mendinginkan air di bawah dan di dekatnya.
Baca juga: Kemarau 2023 Lebih Kering, Warga Banten Diminta Waspada
Selain itu, jumlah es di permukaan Samudra Antarktika saat ini berukuran kurang dari 17 juta km persegi. Artinya, jumlah tersebut 1,5 juta km persegi lebih sedikit dari rata-rata yang ada pada September. Bahkan, menjadi rekor terendah dibandingkan musim dingin sebelumnya.
"Kami bisa melihat sendiri betapa rentannya itu," kata Dr Robbie Mallet, dari University of Manitoba, dikutip dari BBC News Indonesia.
Selain kondisi penelitian yang terisolasi, dingin ekstrem, dan angin kencang tipisnya es laut tahun ini membuat pekerjaan timnya semakin sulit.
Namun, para ilmuwan masih berusaha untuk mengidentifikasi faktor yang menyebabkan rendahnya es laut ini. Sebab, es laut terbentuk saat musim dingin di benua Antarktika (Maret-Oktober), yakni sebelum sebagian besar esnya mencair di musim panas.
Es laut merupakan bagian dari sistem yang saling berhubungan dan mencakup gunung es, es daratan, hingga bongkahan es besar - perpanjangan dari es daratan yang mengapung di air dan menonjol dari pantai. Es laut berperan sebagai lapisan pelindung es yang menutupi permukaan tanah dan mencegah air laut memanas.
Dr Caroline Holmes dari British Antartic Survey menjelaskan, bahwa dampak penyusutan es laut dapat menjadi jelas ketika transisi ke musim panas. Kemudian, terdapat potensi untuk siklus umpan balik pencairan es yang tak terbendung.
Semakin banyak es laut yang menghilang, maka hal itu akan semakin mengekspos area gelap di lautan, yang menyerap sinar Matahari alih-alih memantulkannya. Jadi, energi panas ditambahkan ke dalam air dapat menyebabkan sebagian besar es mencair. Para saintis menyebutnya sebagai efek es-albedo.
Baca juga: Indonesia Lakukan Rekayasa Cuaca untuk Atasi Polusi Udara, Begini Caranya
Tentunya, hal tersebit dapat menambah lebih banyak panas ke planet Bumi, kemudian merusak peran Antarktika selama ini sebagai pengatur suhu global.
Sejak 1990-an, hilangnya es darat dari Antarktika telah berkontribusi terhadap kenaikan permukaan laut sebanyak 7,2 mm. Kenaikan permukaan laut yang sedikit saja dapat mengakibatkan gelombang badai yang sangat tinggi, lalu menyapu habis komunitas di daerah-daerah pesisir.
Jika sejumlah besar es darat mulai mencair, maka dampaknya pun akan menjadi malapetaka besar bagi jutaan orang di seluruh dunia. Sebagai benua yang dikelilingi oleh air, Antarktika memiliki sistem cuaca dan iklim sendiri.
Hingga 2016, es laut musim dingin Antartika sebenarnya telah bertambah besar. Pada Maret 2022, gelombang panas ekstrem melanda Antarktika Timur, di mana mendongkrak suhu ke -10 Celsius yang seharusnya mendekati -50 Celsius.
Fenomena cuaca El Nino yang saat ini berlangsung di Pasifik, bisa dikatakan ikut berkontribusi terhadap penyusutan es laut, meskipun potensinya masih lemah.
"Ini berpotensi menjadi tanda perubahan iklim Antarktika yang sangat mengkhawatirkan dan belum pernah ada selama 40 tahun terakhir. Dan itu baru saja muncul sekarang," ujar Dr. Mallet. (LIA)
Baca juga: DLH Kota Tangerang Buat Prosedur untuk Kelola Sampah B3
Soffi Amira P.
[email protected]
Related Article
Side.id - Media Kawasan Alam Sutera, BSD dan Gading Serpong
Merupakan media untuk memberikan rekomendasi tempat yang berdasarkan lokasi, rating, dan kategori yang diinginkan. Sudah punya usaha bisnis dan ingin menyampaikan profil bisnis Anda kepada pembaca setia? Daftarkan sekarang! Gratis!
Es di Antarktika Capai Level Terendah, Ini Dampaknya bagi Bumi
20 September 2023 14:17 WIBPemanasan Global Lingkungan News
Side.id - Berdasarkan data satelit, jumlah es di lautan yang mengelilingi Antarktika kini berada di level terendah yang pernah tercatat. Hal tersebut pun menjadi pertanda baru yang cukup mengkhawatirkan bagi wilayah yang sebelumnya dapat bertahan dari pemanasan global.
Para ahli mengatakan, bahwa Antarktika yang tidak stabil dapat menimbulkan konsekuensi yang luas. Kemudian, hamparan es Antarktika yang besar memiliki fungsi untuk mengatur suhu planet Bumi, di mana permukaan berwarna putih dapat memantulkan energi Matahari kembali ke atmosfer. Lalu, dapat mendinginkan air di bawah dan di dekatnya.
Baca juga: Kemarau 2023 Lebih Kering, Warga Banten Diminta Waspada
Selain itu, jumlah es di permukaan Samudra Antarktika saat ini berukuran kurang dari 17 juta km persegi. Artinya, jumlah tersebut 1,5 juta km persegi lebih sedikit dari rata-rata yang ada pada September. Bahkan, menjadi rekor terendah dibandingkan musim dingin sebelumnya.
"Kami bisa melihat sendiri betapa rentannya itu," kata Dr Robbie Mallet, dari University of Manitoba, dikutip dari BBC News Indonesia.
Selain kondisi penelitian yang terisolasi, dingin ekstrem, dan angin kencang tipisnya es laut tahun ini membuat pekerjaan timnya semakin sulit.
Namun, para ilmuwan masih berusaha untuk mengidentifikasi faktor yang menyebabkan rendahnya es laut ini. Sebab, es laut terbentuk saat musim dingin di benua Antarktika (Maret-Oktober), yakni sebelum sebagian besar esnya mencair di musim panas.
Es laut merupakan bagian dari sistem yang saling berhubungan dan mencakup gunung es, es daratan, hingga bongkahan es besar - perpanjangan dari es daratan yang mengapung di air dan menonjol dari pantai. Es laut berperan sebagai lapisan pelindung es yang menutupi permukaan tanah dan mencegah air laut memanas.
Dr Caroline Holmes dari British Antartic Survey menjelaskan, bahwa dampak penyusutan es laut dapat menjadi jelas ketika transisi ke musim panas. Kemudian, terdapat potensi untuk siklus umpan balik pencairan es yang tak terbendung.
Semakin banyak es laut yang menghilang, maka hal itu akan semakin mengekspos area gelap di lautan, yang menyerap sinar Matahari alih-alih memantulkannya. Jadi, energi panas ditambahkan ke dalam air dapat menyebabkan sebagian besar es mencair. Para saintis menyebutnya sebagai efek es-albedo.
Baca juga: Indonesia Lakukan Rekayasa Cuaca untuk Atasi Polusi Udara, Begini Caranya
Tentunya, hal tersebit dapat menambah lebih banyak panas ke planet Bumi, kemudian merusak peran Antarktika selama ini sebagai pengatur suhu global.
Sejak 1990-an, hilangnya es darat dari Antarktika telah berkontribusi terhadap kenaikan permukaan laut sebanyak 7,2 mm. Kenaikan permukaan laut yang sedikit saja dapat mengakibatkan gelombang badai yang sangat tinggi, lalu menyapu habis komunitas di daerah-daerah pesisir.
Jika sejumlah besar es darat mulai mencair, maka dampaknya pun akan menjadi malapetaka besar bagi jutaan orang di seluruh dunia. Sebagai benua yang dikelilingi oleh air, Antarktika memiliki sistem cuaca dan iklim sendiri.
Hingga 2016, es laut musim dingin Antartika sebenarnya telah bertambah besar. Pada Maret 2022, gelombang panas ekstrem melanda Antarktika Timur, di mana mendongkrak suhu ke -10 Celsius yang seharusnya mendekati -50 Celsius.
Fenomena cuaca El Nino yang saat ini berlangsung di Pasifik, bisa dikatakan ikut berkontribusi terhadap penyusutan es laut, meskipun potensinya masih lemah.
"Ini berpotensi menjadi tanda perubahan iklim Antarktika yang sangat mengkhawatirkan dan belum pernah ada selama 40 tahun terakhir. Dan itu baru saja muncul sekarang," ujar Dr. Mallet. (LIA)
Baca juga: DLH Kota Tangerang Buat Prosedur untuk Kelola Sampah B3