SHARE
Home > News > Features > Pabrik Piringan Hitam Kembali Hadir di Indonesia Siap Produksi Pertengahan Juni 2023!

Pabrik Piringan Hitam Kembali Hadir di Indonesia Siap Produksi Pertengahan Juni 2023!

24 April 2023 13:27 WIB PHR Pressing

PHR Pressing, sebuah prakarsa mandiri swasta di Indonesia akan segera membuka pabrik piringan hitam (pressing plant), gebrakan ini sebagai upaya untuk meneruskan perjalalanan rilisan fisik kasta tertinggi yaitu vinyl atau piringan hitam di Indonesia.

Pressing plant ini hadir kembali sejak hampir setengah abad hiatus. PHR Pressing menjadi sebuah pabrik piringan hitam yang akan beroperasi di Indonesia, untuk Indonesia dan tentunya oleh anak-anak bangsa.

Didirikan oleh PT Kerka Elevasi Mandiri, pabrik piringan hitam ini tidak hanya akan meneruskan kemandirian anak bangsa dalam proses produksi dan pelestarian musik nasional, namun juga memenuhi kebutuhan nyata artis, band dan label yang hendak merilis musik mereka dalam format piringan hitam dengan biaya terjangkau, lebih cepat dan bebas dari berbagai hambatan logistik.

Piringan hitam merupakan tingkatan rilisan fisik tertinggi setelah cakram padat (CD). (Foto: Julian Kersten/Pexels)

Beroperasi dari kawasan industri Cengkareng, Tangerang, hanya sekitar lima kilometer dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, PHR Pressing tidak hanya akan mudah dijangkau tapi juga langsung terhubung dengan hub transportasi dan distribusi logistik kelas dunia.

PHR Pressing menawarkan kapasitas produksi sebanyak 30.000 keping vinyl per bulan dengan dukungan mesin berteknologi Italia dan assembly Hong Kong. Jumlah produksi ini akan mengakomodir permintaan pasar vinyl di Indonesia maupun di pasar global.

Perlu diketahui, pada tahun 2022 untuk pertama kalinya penjualan vinyl melampaui angka penjualan CD cakram padat sebesar 41 juta keping dengan nilai USD1,2 milyar, atau mengambil porsi 70 persen dari semua penjualan format fisik. Ini menjadi catatan tertinggi dalam kurun waktu 35 tahun terakhir.

PHR tidak sendirian, pressing plant ini dibangun sebagai joint venture bersama Elevation Records yang telah berpengalaman lebih dari 11 tahun merilis serta mendistribusikan musik dalam format piringan hitam seperti Glenn Fredly, Hindia, Mocca, Rotor, Gombloh, Panbers dan Semakbelukar.

Piringan hitam memiliki kualitas audio terbaik dibandingkan rilisan fisik CD dan kaset. (Foto: Mick Haupt/Pexels)

PHR Pressing dirancang untuk memenuhi kebutuhan percetakan piringan hitam di Indonesia dengan harga yang sangat terjangkau, tentunya dengan waktu produksi yang relatif cepat.

Dua hal di atas telah menjadi kebutuhan label, artis dan band untuk bisa memasarkan musik dalam format piringan hitam dengan skema yang lebih menguntungkan, mengingat kecilnya nilai insentif yang bisa didapatkan dari format streaming hari ini.

PHR Pressing akan resmi dibuka dan melakukan proses cetak perdana pada pertengahan bulan Juni tahun ini. Saat ini proses penerimaan pesanan telah dibuka, sekaligus untuk memberi waktu untuk pembuatan rekaman master dan stamper yang akan dilakukan di studio-studio mastering terbaik di Eropa, demi hasil yang maksimal.

Mencetak musik dalam format piringan hitam merupakan penghargaan terbaik bagi musik-musik karya anak bangsa dengan harapan bisa meramaikan khasanah musik Indonesia hari ini dan masa depan.

Piringan hitam adalah rilisan fisik pertama di dunia. (Foto: NME)

70 tahun sejak pressing plant hadir pertama kali di Indonesia, kini PHR Pressing akan mencoba memulai sejarah baru. Kehadiran pabrik piringan hitam ini tidak bisa dilepaskan dari tangan dingin seorang pengusaha visioner bernama Edy Goh yang dengan inisiatif pribadi membuka pressing plant pada tahun 2019, juga di wilayah Cengkareng.

Setelah sempat menjadi hub percetakan piringan hitam bagi label-label besar nasional, upaya ini harus terhenti sebagai imbas perlambatan ekonomi akibat pandemic COVID-19. Awal tahun 2023, PHR Pressing mengambil alih mesin dan peralatan tersebut dan memutuskan untuk memberi kesempatan kepada semua pihak untuk mencetak piringan hitam “now everyone can press vinyl.

Sejarah Piringan Hitam di Indonesia

Sejarah piringan hitam sudah hampir setua usia industri musik Indonesia itu sendiri. Piringan hitam shellac 10” dengan kecepatan rotasi 78 rpm (rotation per minute) sudah hadir di Indonesia sejak tahun 1920-an, merekam musik-musik tonil, keroncong dan musik tradisional.

Shellac ini bisa dicetak di Jerman, Inggris atau paling dekat di India. Label-label besar dunia seperti Columbia, Odeon, Ultraphon mengirimkan teknisinya ke Indonesia untuk merekam musik-musik ini di lapangan sebelum kemudian merilisnya untuk pasar dunia. Kira-kira sudah terbit 18.500 rekaman komersial dalam format 78 rpm di Hindia Belanda dari awal dekade 1920-an sampai sebelum tahun 1942.

Stamper akan digunakan untuk menekan piringan hitam. (Foto: The Globe and Mail)

Upaya pertama untuk meng-Indonesia-kan musik Indonesia dilakukan oleh seorang perwira Angkatan Udara bernama Sujoso Karsono atau Mas Yos yang mendirikan label legendaris Bernama Irama Records ltd. Irama inilah yang melahirkan nama-nama legendaris dari mulai Bing Slamet, Adi Karso, Kus Bersaudara sampai O.M. Kelana Ria.

Berdiri pada tahun 1951, pada awalnya Irama mencetak piringan hitamnya di Belanda atau yang paling dekat dari India. Mas Yos membuat gebrakan pada tahun 1953, tepat 70 tahun yang lalu, dengan membuka sendiri pabrik piringan hitam di Jakarta Pusat.

Produksi terus berkembang pesat sejak saat itu, dan pada periode 1961 sampai 1963 Irama sempat mencetak 30.000 keping vinyl per bulan, angka yang fantastis pada zamannya.

Mendengarkan piringan hitam juga mampu meningkatkan selera musik. (Foto: Billboard)

Dan ketika Irama tutup pada tahun 1967, label-label besar seperti Lokananta, Remaco, Mesra Dimita, Metropolitan (Musica) melanjutkan estafet produksi vinyl di sepanjang dekade 1970-an.

Setelah hampir tiga dekade mendominasi format fisik, vinyl 12” dengan kecepatan 33 rpm mulai digantikan oleh format pita kaset yang lebih praktis, murah dan portable, yang mulai memasuki pasar pada awal dekade 1970-an dan mendominasi di akhir dekade dan awal dasawarsa 1980-an.

Namun, pada akhirnya vinyl harus menyerah kepada keadaan dan Lokananta-pun harus menghentikan produksi pada tahun 1974. Kini 49 tahun kemudian, PHR Pressing berupaya menjadi penerus bagi tradisi merilis musik dalam format fisik piringan hitam.

Baca Juga: 6 Tips Merawat Piringan Hitam yang Baik dan Benar

Baru Dibuka

Glory Petshop - Alam Sutera

, Tangerang, Banten, 15143

Buka pukul 09:30 - 21:00 Tutup

Side.id - Media Kawasan Alam Sutera, BSD dan Gading Serpong

Merupakan media untuk memberikan rekomendasi tempat yang berdasarkan lokasi, rating, dan kategori yang diinginkan. Sudah punya usaha bisnis dan ingin menyampaikan profil bisnis Anda kepada pembaca setia? Daftarkan sekarang! Gratis!
Home > Blog > Features > Pabrik Piringan Hitam Kembali Hadir di Indonesia Siap Produksi Pertengahan Juni 2023!

Pabrik Piringan Hitam Kembali Hadir di Indonesia Siap Produksi Pertengahan Juni 2023!

24 April 2023 13:27 WIB
PHR Pressing

PHR Pressing, sebuah prakarsa mandiri swasta di Indonesia akan segera membuka pabrik piringan hitam (pressing plant), gebrakan ini sebagai upaya untuk meneruskan perjalalanan rilisan fisik kasta tertinggi yaitu vinyl atau piringan hitam di Indonesia.

Pressing plant ini hadir kembali sejak hampir setengah abad hiatus. PHR Pressing menjadi sebuah pabrik piringan hitam yang akan beroperasi di Indonesia, untuk Indonesia dan tentunya oleh anak-anak bangsa.

Didirikan oleh PT Kerka Elevasi Mandiri, pabrik piringan hitam ini tidak hanya akan meneruskan kemandirian anak bangsa dalam proses produksi dan pelestarian musik nasional, namun juga memenuhi kebutuhan nyata artis, band dan label yang hendak merilis musik mereka dalam format piringan hitam dengan biaya terjangkau, lebih cepat dan bebas dari berbagai hambatan logistik.

Piringan hitam merupakan tingkatan rilisan fisik tertinggi setelah cakram padat (CD). (Foto: Julian Kersten/Pexels)

Beroperasi dari kawasan industri Cengkareng, Tangerang, hanya sekitar lima kilometer dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, PHR Pressing tidak hanya akan mudah dijangkau tapi juga langsung terhubung dengan hub transportasi dan distribusi logistik kelas dunia.

PHR Pressing menawarkan kapasitas produksi sebanyak 30.000 keping vinyl per bulan dengan dukungan mesin berteknologi Italia dan assembly Hong Kong. Jumlah produksi ini akan mengakomodir permintaan pasar vinyl di Indonesia maupun di pasar global.

Perlu diketahui, pada tahun 2022 untuk pertama kalinya penjualan vinyl melampaui angka penjualan CD cakram padat sebesar 41 juta keping dengan nilai USD1,2 milyar, atau mengambil porsi 70 persen dari semua penjualan format fisik. Ini menjadi catatan tertinggi dalam kurun waktu 35 tahun terakhir.

PHR tidak sendirian, pressing plant ini dibangun sebagai joint venture bersama Elevation Records yang telah berpengalaman lebih dari 11 tahun merilis serta mendistribusikan musik dalam format piringan hitam seperti Glenn Fredly, Hindia, Mocca, Rotor, Gombloh, Panbers dan Semakbelukar.

Piringan hitam memiliki kualitas audio terbaik dibandingkan rilisan fisik CD dan kaset. (Foto: Mick Haupt/Pexels)

PHR Pressing dirancang untuk memenuhi kebutuhan percetakan piringan hitam di Indonesia dengan harga yang sangat terjangkau, tentunya dengan waktu produksi yang relatif cepat.

Dua hal di atas telah menjadi kebutuhan label, artis dan band untuk bisa memasarkan musik dalam format piringan hitam dengan skema yang lebih menguntungkan, mengingat kecilnya nilai insentif yang bisa didapatkan dari format streaming hari ini.

PHR Pressing akan resmi dibuka dan melakukan proses cetak perdana pada pertengahan bulan Juni tahun ini. Saat ini proses penerimaan pesanan telah dibuka, sekaligus untuk memberi waktu untuk pembuatan rekaman master dan stamper yang akan dilakukan di studio-studio mastering terbaik di Eropa, demi hasil yang maksimal.

Mencetak musik dalam format piringan hitam merupakan penghargaan terbaik bagi musik-musik karya anak bangsa dengan harapan bisa meramaikan khasanah musik Indonesia hari ini dan masa depan.

Piringan hitam adalah rilisan fisik pertama di dunia. (Foto: NME)

70 tahun sejak pressing plant hadir pertama kali di Indonesia, kini PHR Pressing akan mencoba memulai sejarah baru. Kehadiran pabrik piringan hitam ini tidak bisa dilepaskan dari tangan dingin seorang pengusaha visioner bernama Edy Goh yang dengan inisiatif pribadi membuka pressing plant pada tahun 2019, juga di wilayah Cengkareng.

Setelah sempat menjadi hub percetakan piringan hitam bagi label-label besar nasional, upaya ini harus terhenti sebagai imbas perlambatan ekonomi akibat pandemic COVID-19. Awal tahun 2023, PHR Pressing mengambil alih mesin dan peralatan tersebut dan memutuskan untuk memberi kesempatan kepada semua pihak untuk mencetak piringan hitam “now everyone can press vinyl.

Sejarah Piringan Hitam di Indonesia

Sejarah piringan hitam sudah hampir setua usia industri musik Indonesia itu sendiri. Piringan hitam shellac 10” dengan kecepatan rotasi 78 rpm (rotation per minute) sudah hadir di Indonesia sejak tahun 1920-an, merekam musik-musik tonil, keroncong dan musik tradisional.

Shellac ini bisa dicetak di Jerman, Inggris atau paling dekat di India. Label-label besar dunia seperti Columbia, Odeon, Ultraphon mengirimkan teknisinya ke Indonesia untuk merekam musik-musik ini di lapangan sebelum kemudian merilisnya untuk pasar dunia. Kira-kira sudah terbit 18.500 rekaman komersial dalam format 78 rpm di Hindia Belanda dari awal dekade 1920-an sampai sebelum tahun 1942.

Stamper akan digunakan untuk menekan piringan hitam. (Foto: The Globe and Mail)

Upaya pertama untuk meng-Indonesia-kan musik Indonesia dilakukan oleh seorang perwira Angkatan Udara bernama Sujoso Karsono atau Mas Yos yang mendirikan label legendaris Bernama Irama Records ltd. Irama inilah yang melahirkan nama-nama legendaris dari mulai Bing Slamet, Adi Karso, Kus Bersaudara sampai O.M. Kelana Ria.

Berdiri pada tahun 1951, pada awalnya Irama mencetak piringan hitamnya di Belanda atau yang paling dekat dari India. Mas Yos membuat gebrakan pada tahun 1953, tepat 70 tahun yang lalu, dengan membuka sendiri pabrik piringan hitam di Jakarta Pusat.

Produksi terus berkembang pesat sejak saat itu, dan pada periode 1961 sampai 1963 Irama sempat mencetak 30.000 keping vinyl per bulan, angka yang fantastis pada zamannya.

Mendengarkan piringan hitam juga mampu meningkatkan selera musik. (Foto: Billboard)

Dan ketika Irama tutup pada tahun 1967, label-label besar seperti Lokananta, Remaco, Mesra Dimita, Metropolitan (Musica) melanjutkan estafet produksi vinyl di sepanjang dekade 1970-an.

Setelah hampir tiga dekade mendominasi format fisik, vinyl 12” dengan kecepatan 33 rpm mulai digantikan oleh format pita kaset yang lebih praktis, murah dan portable, yang mulai memasuki pasar pada awal dekade 1970-an dan mendominasi di akhir dekade dan awal dasawarsa 1980-an.

Namun, pada akhirnya vinyl harus menyerah kepada keadaan dan Lokananta-pun harus menghentikan produksi pada tahun 1974. Kini 49 tahun kemudian, PHR Pressing berupaya menjadi penerus bagi tradisi merilis musik dalam format fisik piringan hitam.

Baca Juga: 6 Tips Merawat Piringan Hitam yang Baik dan Benar

Baru Dibuka

Glory Petshop - Alam Sutera

, Tangerang, Banten, 15143

Buka pukul 09:30 - 21:00 Tutup

Side.id - Media Kawasan Alam Sutera, BSD dan Gading Serpong

Merupakan media untuk memberikan rekomendasi tempat yang berdasarkan lokasi, rating, dan kategori yang diinginkan. Sudah punya usaha bisnis dan ingin menyampaikan profil bisnis Anda kepada pembaca setia? Daftarkan sekarang! Gratis!